Jakarta – Industri otomotif Tanah Air saat ini sedang bertansisi menuju kendaraan listrik. Menghadapi penerapan teknologi baru alat transportasi tersebut, agensi Public Relations dan Public Affairs Praxis melakukan survei edisi kelima bertajuk “Potensi dan Tantangan Mobil Listrik di Indonesia dari Persepsi Pengguna”.
Dalam survei Praxis kali ini mengambil data komprehensif soal perilaku, preferensi, dan aspirasi dari 1.200 pengguna mobil listrik di 12 kota besar di Indonesia. Proses pengerjaannya dimulai sejak Februari hingga Juli 2025, menggunakan metode purposive sampling dengan margin of error lebih kurang 2,9 persen.
Selama proses survei, ditemukan beberapa temuan menarik. Contohnya saat ditanya hal penting yang harus terpenuhi dalam kendaraan listrik, sebanyak 35,17 persen responden mementingkan soal daya tahan baterai. Lalu, sebanyak 21,33 persen mengutamakan harga beli, dan sebanyak 18,5 persen mementingkan reputasi merk.
“Temuan yang menarik, 82 persen pengguna menyatakan menggunakan EV sebagai kendaraan harian. Nah, dari 82 persen tersebut, 35 persen di antaranya menggunakan mobil listrik dalam sehari itu antara 51-100 kilometer, 33 persen responden menggunakannya dalam jarak 21-50 kilometer. Dan ini angka yang sangat masif. Jadi, mungkin kalo diasosiasikan penggunaan mobil listrik untuk jarak dekat, itu terpatahkan dalam temuan kami,” ungkap Garda Maharsi, Head of Research Praxis.
Selain soal daya baterai, sebanyak 1200 responden survei Praxis ketika ditanya pada pilihan promosi, maka mayoritas atau sebanyak 52 persen responden menyatakan garansi baterai merupakan penawaran paling memengaruhi keputusan pembelian kendaraan listrik. Setelah itu, disusul diskon harga beli sebanyak 30 persen, dan 10 persen sisanya tertarik akan promo bundling wall charger.
Lebih lanjut, Praxis juga mendapati temuan bahwa hampir separuh responden, atau sebanyak 46 persen menempatkan ketersediaan infrastruktur sebagai prioritas kebijakan utama, mencakup perluasan akses ke Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Setelah itu, jaminan ketersediaan bengkel resmi yang mumpuni, juga jadi prioritas.
Bagi para responden survei Praxis, meskipun 79 persen pengguna menilai pengalaman berkendara mobil listrik lebih baik dibandingkan mobil konvensional, 78 persen pengguna juga merasa rata-rata durasi pengisian daya selama 6 jam terlalu lama. Angka ini sangat jauh dari durasi ideal yang mereka harapkan, yaitu 1-2 jam atau kurang.
“Apakah ini ideal dengan yang diharapkan, sebanyak 42 persen pengguna mengharapkan pengisian daya yang idealnya 1-2 jam, dan 37 persen menyatakan 2-3 jam pengisian sampai full. Sehingga, sepertinya bagi brand kendaraan listrik, pengembangan riset baterai perlu ditingkatkan sehingga kepuasan konsumen menjadi lebih baik,” tambah Garda.
Garda menambahkan, “Temuan ini menunjukkan bahwa pengguna mobil listrik di Indonesia telah bergerak melampaui ‘demam harga murah’, namun juga memprioritaskan faktor penggunaan hingga kebijakan untuk jangka panjang. Ini menjadi tanda pasar yang semakin dewasa.”
“Harapan kami, data ini dapat menjadi jembatan yang menghubungkan ekspektasi pengguna dengan strategi yang akan diterapkan oleh produsen, pemerintah, dan penyedia infrastruktur, sehingga akselerasi adopsi mobil listrik berjalan lebih efektif dan tepat sasaran,” pungkasnya.
Hasil riset Praxis kali ini, menegaskan bahwa Indonesia berada di titik krusial transisi menuju mobilitas listrik. Antusiasme dan kepuasan pengguna yang tinggi menjadi fondasi yang kokoh. Kini, tugas para pemangku kepentingan adalah menjawab aspirasi pengguna dengan aksi nyata, serta membangun ekosistemnya demi wujudkan masa depan transportasi yang lebih bersih dan efisien.