Jakarta — Perkembangan pesat kendaraan listrik di Indonesia ternyata bukan dimulai dari pascapandemi Covid 2019. Justru dimulai dari tahun 2010.
Informasi tersebut diungkap oleh Susan Adi Putra, Associate Head of Research for Automotive Populix, perusahaan riset berbasis teknologi, mengatakan perkembangan pesat kendaraan listrik di Indonesia dimulai sejak tahun 2010.
Menyikapi perkembangan pasar kendaraan listrik, Populix, perusahaan riset berbasis teknologi asal Indonesia, bekerja sama Forum Wartawan Otomotif (FORWOT) mengadakan diskusi panel yang membahas strategi, inovasi, dan dinamika kompetitif yang membentuk pasar kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia, Selasa (1 Juli 2025).
“Sesuai penelitian pasar, Indonesia telah masuk kategori Emerging Electric Vehicle (EV) Markets, melampaui negara-negara berkembang lain yang masih dalam tahap awal. Walau demikian, perkembangan ini tetap terdapat hambatan. Masih ada beberapa tantangan yang masih harus dibereskan bersama khususnya dari sisi pengguna,” ujar Susan Adi Putra.
Berdasarkan hasil riset Populix, terdapat beberapa hambatan besar dalam adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Keterbatasan jumlah bengkel kendaraan listrik merupakan hambatan terbesar. Mengingat masih banyak bengkel yang belum dapat melakukan service, bahkan dalam mengatasi kendala selain kelistrikan pada mobil.
Menanggapi hambatan perkembangan kendaraan listrik, William Kusuma, Head of CEO Office ALVA, mengatakan telah berupaya mengatasi dengan menggandeng bengkel – bengkel di sekitar dealer ALVA. “Dengan sistem tersebut, kami memastikan setidaknya ada empat bengkel yang bisa melayani kendaraan listrik di setiap satu buah dealer. Saat ini ALVA telah mendukung hadirnya 46 bengkel yang mendukung servis kendaraan listrik di Indonesia. Harapannya langkah serupa juga bisa dilakukan oleh para pelaku industri kendaraan listrik lainnya, sehingga proses adopsi ini semakin lancar.”
Sementara Patricia Carmelita Ayu, PR Supervisor BYD Motor Indonesia menjelaskan milestone BYD di Indonesia pada 2023 yang telah berkontribusi besar dalam perkembangan kendaraan listrik.
“BYD telah menjadi brand EV no 1 di Indonesia pada 2024. Bahkan khusus periode Januari 2025 hingga Mei 2025, market share kami mencapai 52,6% atau 15.900 unit kendaraan telah terjual.”
Keberhasilan BYD memimpin pasar kendaraan listrik dinilai berkat penerapan teknologi Blade Battery yang merupakan lithium iron phosphate (LFP) battery dengan disain khusus Electric Vehicle.
Melalui keterangan tertulisnya, BYD memaparkan dalam mendukung perkembangan kendaraan listrik. Perusahaan telah menghadirkan 60 titik charging station (ultra fast charging station 180 kW) dengan bekerjasama pihak lain dan 50 dealer yang 38 di antaranya terdapat charging station.
Walau telah cukup banyaknya charging station yang disediakan oleh setiap brand kendaraan listrik, tetapi masih dianggap menjadi hambatan perkembangannya.
Keterbatasan akses Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) menjadi hambatan kedua karena belum tersebar secara merata di Indonesia. Hal ini mengingat mayoritas masyarakat masih bergantung pada SPKLU untuk mengisi daya kendaraan listrik mereka. Menurut data Populix, setidaknya 63% pengguna kendaraan listrik roda empat dan 29% pengguna kendaraan listrik roda dua memilih untuk mengisi daya di SPKLU. Pengisian daya di SPKLU dipilih karena dinilai lebih cepat dibanding mengisi daya di rumah.
Menyikapi perkembangan pasar kendaraan listrik dengan berbagai dinamikanya, Prof. Dr. rer. nat. Evvy Kartini, Founder of National Battery Research Institute (NBRI), mengatakan sebenarnya hambatan tidak hanya dari infrastruktur pendukung seperti bengkel dan pengisian daya, tetapi yang harus diperhatikan pemerintah adalah standarisasi baterai yang mendukung interoperabilitas.
Hal ini dikarenakan, saat ini penggunaan jenis baterai dan piranti pengisian daya masih terbatas kepada merek kendaraan masing-masing, sehingga menyulitkan dalam pengisian daya di stasiun pengisian daya lain. “Dengan standarisasi penggunaan baterai, diharapkan masyarakat semakin mudah untuk me-charge kendaraan listrik mereka, dan kemudian mendorong adopsi kendaraan listrik.”
Interoperabilitas mengacu pada kemampuan baterai dari berbagai merek atau model untuk dapat digunakan secara bergantian atau saling dipertukarkan dalam sistem yang sama. Standard ukuran baterai yang belum sama juga merupakan salah satu aspek penting untuk diperhatikan karena akan mendukung interoperabilitas baterai tersebut.
Hal ini menjadi sangat signifikan karena dapat memaksimalkan penggunaan pengisian daya baterai di berbagai stasiun pengisian tanpa dibatasi oleh merek kendaraan listrik yang digunakan.
Lebih lanjut, Professor Evvy menambahkan bahwa keamanan baterai yang saat ini belum teregulasi dengan baik. Meskipun SNI sertifikasi untuk keamanan baterai seperti SNI 8872 sudah ada sejak tahun 2019, hingga saat ini aturan ini belum di wajibkan oleh pemerintah. Padahal sangat erkait dengan keselamatan konsumen kendaraan listrik.
Menutup panel diskusi tentang electric vehicle ini, Susan Adi Putra berharap melalui diskusi yang juga dihadiri oleh para pelaku industri kendaraan bermotor ini dapat semakin mendorong pengembangan lanskap juga adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Dengan tujuan akhir mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. ##